Pages

25 Oktober 2012

Review Buku "Hak Atas Air, Pro Rakyat"


Oleh : Fazlur Rahman AS (Malang, 17 Juli 2012)

Ketika mendarat di Bulan, Neill Armstrong bersama kru pesawat luar angkasa Apollo 11 pun berseru, "satu langkah kecil untuk kaki seorang manusia, namun merupakan sebuah lompatan besar bagi umat manusia". Penelusuran umat adam berlanjut mencari kehidupan di tata surya, Mars pun menjadi sasaran berikutnya, para ilmuwan hendak menjadikan Mars sebagai tempat tinggal alternatif masa depan bagi manusia karena strukturnya yang mirip dengan Bumi, namun sampai dengan sekarang masih belum mampu dipecahkan karena masih ada perbedaan utama dengan Bumi. Sementara itu dalam film-film fiksi ilmiah yang berkaitan dengan luar angkasa seperti Battle of Los Angeles, invasi makhluk asing yang akrab disapa "alien" ke Bumi dikaitkan dengan salah satu sumber daya yang ada. Apakah yang menjadi alasan ilmuwan belum berhasil menjadikan Mars sebagai tempat tinggal bagi manusia? Lalu mengapa Alien dalam film fiksi ilmiah hendak menginvasi Bumi? Tidak lain jawabannya adalah Air.


Air bernama ilmiah Hidrogen Dioksida (H2O) adalah benda cair yang dirangkai hanya dengan tiga huruf ini justru menjadi kompleksitas kehidupan, ia menjadi hal yang utama dalam eksistensi makhluk hidup dimuka bumi. Air memiliki sejarah panjang dalam kaitannya dengan manusia, ia memiliki nilai historis, ekonomis sekaligus religius. Ia dapat menjadi identitas bagi sebuah negara, Indonesia salah satunya. Negeri gemah ripah loh jinawi bagaikan titisan surga dimuka bumi memiliki sumber daya air yang sangat berlimpah ruah. Namun mampukah negara Indonesia ini memelihara air tersebut untuk keperluan warganya?

Pada Juli Tahun 2010, terbitlah sebuah buku yang berjudul "Rekonstruksi Politik Hukum : Hak Atas Air, Pro Rakyat" yang ditulis oleh Prof. Suteki, S.H., M.Hum. Beliau merupakan seorang guru besar, akademisi, kritikus yang senantiasa memberikan pendapat hukumnya yang progresif, sebagaimana merupakan ciri khas yang tidak bisa dilepaskan dari almamater beliau di Universitas Diponegoro, Semarang. Saya beruntung pernah bertemu langsung dengan beliau pada saat Simposium Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Hukum Se-Indonesia di Semarang medio 2011 lalu. Prof. Suteki yang matang dan malang melintang di dunia Lembaga Swadaya Masyarakat pada kesempatan itu juga memberikan pandangannya yang kritis terhadap kondisi Sumber Daya Alam di Indonesia.

Kembali ke permasalahan buku yang beliau tulis dan dibantu oleh Dr. Rachmad Syafaat, S.H., M.Hum. sebagai editor buku yang merupakan akademisi Ilmu Hukum yang diperkaya dengan wawasan beliau di bidang ekologi, beliau aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Buku yang diterbitkan oleh Surya Pena Gemilang di Malang sebanyak 339 halaman lebih dan tebal buku mencapai 2,5 cm merupakan follow up  dari disertasi Prof. Suteki pada tahun 2008 setelah melalui proses konversi dan editing serta berbagai penyesuaian.

Secara umum, buku ini disusun dalam 10 Bab yang diawali dengan sebuah pendahuluan yang amat cemerlang. Mukaddimah buku ini sudah mengajak para pembaca agar mengerti posisi hukum sebuah benda yang dinamakan "air" sebagai sesuatu yang sangat berharga bagi sebuah negara. Dalam Bab pertama ini juga mengemukakan pertentangan antara tujuan pembangunan millenium atau Millenium Development Goals (MDGs) dengan kesesuaian yang ada di Indonesia. Terlihat sekali kecemasan sekaligus kegeraman penulis atas kondisi pengelolaan sumber daya air di Indonesia dari masa ke masa. Penulis menyajikan data yang lengkap untuk menggambarkan sumber daya air di dunia pada saat ini. Penulis menilai, telah terjadi pergeseran politik hukum pengelolaan sumber daya air dari yang seharusnya, utamanya adalah privatisasi air terselubung melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Penulis menggambarkan permasalahan sumber daya air di Indonesia dari sisi pengelolaannya dan kaitannya dengan politik hukum Indonesia dalam 3 (tiga) rumusan utama. Pertama, mengapa politik hukum tentang hak menguasai negara atas sumber daya air mengingkari nilai keadilan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD NRI 1945; Kedua, mengapa privatisasi pengelolaan sumber daya air membahayakan akses rakyat terhadap air; Ketiga, bagaimanakah rekonstruksi politik hukum tentang hak menguasai negara atas sumber daya air yang berbasis nilai keadilan sosial.

Guna penyelesaian masalah, penulis menempatkan teori hukum mikro dan teori makro sebagai pisau analisis. Sebagai teori yang bersifat mikro, terlihat penulis mengutamakan teori hukum progresif Satjipto Rahardjo yang berangkat dari dua asumsi dasar, yaitu "hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya" serta "hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus terjadi (law as process, law in the making)". Adapun teori makro yang digunakan adalah teori bekerjanya hukum dalam masyarakat oleh William J. Chambliss dan Robert B. Seidmann serta teori hukum prismatik karya Fred W. Riggs.

Adapun isu yang dijadikan arus utama bukum ini adalah berkaca dari ketentuan UU Sumber Daya Air yang dinilai penulis menyimpan potensi privatisasi terselubung. Usaha untuk meninjau kembali hal tersebut telah dicoba, namun Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan bahwa pasal-pasal yang mendorong privatisasi atau swastanisasi tidak dapat dibuktikan bertentangan dengan Pasal 33 UUD NRI 1945.Namun putusan MK tersebut bersifat conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat. Penulis berpendapat bahwa pada era sekarang ini sudah terdapat cukup fakta yang membuktikan privatisasi air telah terjadi, sehingga dapat dimungkinkan mengajukan kembali permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan mengesampingkan ketentuan nebis in idem.

Buku ini bertujuan untuk membuka cakrawala berpikir para pembaca, bahwa hukum tidak mesti harus kaku, karena hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Adanya benturan peraturan perundang-undangan untuk menguji kembali (nebis in idem) ketentuan UU Sumber Daya Air ini bukanlah menjadi tembok penghalang, masih ada upaya-upaya lain yang dijelaskan penulis dengan taktis dalam buku ini disertai dengan alasan rasional yang dapat dilakukan.

Tiada gading yang tak retak, penyajian buku dalam 10 Bab ini masih terasa sangat "hukum" kaya akan istilah-istilah hukum dan istilah teknis, sehingga masih menyulitkan dibaca oleh kalangan awam, namun hal ini dapat ditanggulangi berkat penyajian diagram-diagram, skema dan tabel yang jelas serta mudah dimengerti. Satu lagi kekurangan dalam buku ini berkaitan dengan data yang disajikan yaitu terbatas dalam kurun waktu 2003 dan 2007 sehingga sangat dinantikan pemutakhiran data guna kesempurnaan isi buku agar terasa kuat secara argumen dan akurat dalam penyajian data.

Harga buku yang didesain dengan cover hitam tegas dan ilustrasi gambar sarat makna ini dibanderol sebesar Rp 89.000,- terasa sangat pantas untuk sebuah ilmu pengetahuan hukum yang mendalam. Buku ini sangat dianjurkan bagi pegiat hak asasi manusia, akademisi dan mahasiswa di fakultas hukum, fakultas ekonomi dan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Kalangan umum juga disarankan membaca buku ini guna mengetahui seluk beluk perubahan paradigma politik hukum di Indonesia tentang pengelolaan sumber daya air dari masa ke masa. Akhir kata selamat membaca.

1 komentar:

Silakan Komentar