Pages

23 Juli 2013

Renungan Untuk Insan Akademis

Dimuat di Harian Banjarmasin Post Tanggal 13 Juni 2013




Universitas Negeri tertua dan terbesar di Kalimantan Selatan, Universitas Lambung Mangkurat, kembali mewisuda ribuan mahasiswanya pada hari Rabu (12/6) ini. Banyak orang bilang, tamat dari studi adalah keluar dari satu permasalahan, namun akan kembali masuk kedalam masalah dan pertanyaan baru : mau jadi apa setelah ini?

Sumber data dari BPS dan telah diamini oleh Menakertrans RI, Muhaimin Iskandar, disampaikan bahwa sampai dengan Februari 2013 tercatat total pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,17 Juta orang dan sekitar 765.480 orang diantaranya lulusan akademi dan universitas. (Sumber : Berita Resmi Statistik BPS Mei 2013). Berdasarkan fakta tersebut maka tidak dapat disanggah bahwa tingkat pendidikan tidak menjamin seseorang terhindar dari pengangguran.

Semestinya dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi dapat menjadikan kita memiliki kompetensi dan kesempatan yang semakin baik pula, namun ‘pengangguran intelektual’ ternyata tidak kunjung habis, justru mungkin semakin bertambah seiring dengan banyaknya mahasiswa yang lulus dari bangku kuliah. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terus menerus terjadi.

Pertama, faktor dalam diri mahasiswa itu sendiri, dimana belum mengoptimalkan diri sejak dini untuk bersiap ke dalam siklus kehidupan yang semakin berat. Banyak mahasiswa bahkan alumni yang belum bisa merubah pola pikir dan kebiasaan sewaktu masih sekolah dan ketergantungan dengan orang tua, alhasil tujuan kuliah sebagai re-orientasi tidak berhasil dan kesulitan memasuki fase dunia kerja.

Kedua, paradigma pendidikan di perguruan tinggi yang belum memihak pasca studi peserta didik, misalnya kebijakan hanya mengejar jumlah mahasiswa (kuantitas) dan cenderung abai terhadap kualitas serta gagal memberikan kompetensi atau daya saing terhadap mahasiswa calon alumninya. Mungkin kampus lupa, bahwa ia tidak hanya memikul tugas berat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, tetapi juga bertanggung jawab secara moril atas nasib para alumni-alumninya.

Ketiga, terbatasnya kemampuan dunia usaha untuk menyerap alumni perguruan tinggi termasuk para fresh graduate. Hal ini sebagai dampak dari tingginya tingkat persaingan antar dunia usaha, sikap efisiensi perusahaan dan aspek lainnya sehingga tidak semua orang dapat ditampung di dunia kerja.

Keempat, pengangguran memang tidak hanya terjadi di Indonesia, negara adidaya seperti Amerika Serikat dan negara maju Eropa lainnya pun menghadapi masalah serupa. Namun hal itu tidak menjadi alasan penghapus kesalahan atas belum berhasilnya kebijakan-kebijakan untuk pengentasan pengangguran oleh pemerintah.

Dari beberapa faktor diatas, jelaslah bahwa banyak hal yang mengakibatkan lulusan perguruan tinggi tidak mampu bersaing dalam dunia kerja. Banyak yang harus direnungi, banyak yang harus dilakukan, baik dari sudut pandang pemerintah, pelaku usaha, perguruan tinggi dan utamanya adalah mahasiswa itu sendiri. Dalam fokus ini, penulis hendak mengkritisi dari sisi kebijakan perguruan tinggi dan mahasiswa para alumni saja.

Untuk para alumni maupun mahasiswa yang masih dalam masa studi, hendaknya sesegera mungkin melakukan re-orientasi pemikiran, merenungi tujuan hidup dan menyadari bahwa semakin bertambahnya usia dan semakin dewasa, maka semakin berat pula tanggung jawab yang akan kita pikul. Saya mengajak diri sendiri dan teman-teman, untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitias diri sendiri, misalnya dengan mengikuti organisasi, kursus ataupun pelatihan-pelatihan sembari menjaganya dengan sebuah integritas, baik ke sesama manusia terlebih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jangan hanya berfokus untuk mencari pekerjaan dalam arti konvensional seperti menjadi karyawan swasta atau pegawai negeri, tapi cobalah hal-hal baru dengan menggelorakan semangat pantang menyerah dan jiwa entrepreneurship dalam arti luas. Seperti pepatah Banjar, “Dalas hangit haram manyarah, waja sampai kaputing”.

Untuk perguruan tinggi, khususnya kepada Universitas Lambung Mangkurat, hendaknya melakukan reformasi misi pendidikan, yang tidak hanya mengejar tujuan pengajaran apalagi tujuan ekonomi, akan tetapi pertanggungjawaban kampus pasca studi mahasiswa. Tidaklah cukup dengan memberikan pendidikan kewirausahaan kepada mahasiswa. Namun yang harus diubah itu adalah paradigma kampus sendiri, kampusnya lah yang mesti berpikir entrepreneur. Unlam misalnya sampai dengan hari ini belum memiliki sebuah wadah yang mampu melakukan link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja, atau sebuah lembaga inkubasi bisnis untuk pengembangan kewirausahaan mahasiswa dan masyarakat umum. Padahal dengan adanya lembaga resmi semacam itu mampu mengurai benang kusut pengangguran intelektual dan membentuk polarisasi informasi lowongan kerja, bahkan mampu mendongkrak akreditasi kampus.

Di kampus lain seperti Universitas Airlangga dan Universitas Brawijaya misalnya telah memiliki lembaga “Pusat Inkubator Bisnis” dan “Job Placement Center” yang beroperasi sejak tahun 1995, inilah salah satu aspek yang dapat membantu menjaga reputasi kampus mereka sebagai kampus dengan akreditasi A, meskipun jumlah mahasiswa sangat banyak. Akhir kata, Unlam jangan melihat kebawah, dalam arti terlena sebagai kampus terbaik di Kalimantan, namun sudah saatnya maju ke depan demi nasib para mahasiswa-mahasiswanya. Selamat Wisuda kawan-kawan, bersiaplah karena masa depan cerah menanti kita yang berusaha dan bersungguh-sungguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentar